Penjual Cobek, Mendapatkan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma
BPHN–Jakarta. Beberapa waktu lalu di linimasa jejaring sosial media dan beberapa media online dan cetak sempat ramai dengan pemberitaan tentang Tajudin. Nama Tajudin sontak ramai menjadi bahan pemberitaan karena dirinya baru saja keluar dari Lapas Jambe Tanggerang setelah terkurung selama sembilan bulan.
Kisah pilu Tajudin dimulai karena dirinya dituduh memperkerjakan anak di bawah umur. Sebelum Tajudin merasakan dinginnya tembok Lembaga Pemasyarakatan, dirinya berprofesi sebagai seorang penjual cobek. Pria asal Padalarang ini ditangkap petugas Polres Tangerang Selatan pada Rabu 20 April 2016 dengan tuduhan mempekerjakan dua anak di bawah umur, yaitu Cepi Nurjaman, 14, dan Dendi Darmawan, 15 yang ternyata masih ada hubungan keluarga.
Dari berbagai sumber di media, kronologis penangkapannya bermula pada saat ia hendak pulang ke rumah kontrakan usai berjualan cobek di Graha Bintaro, Kecamatan Pondok Aren Tangerang. Di luar dugaan, ia langsung ditangkap petugas kepolisian dengan tuduhan melakukan eksploitasi anak dibawah umur. Dirinya langsung disergap polisi sewaktu pulang kerja sekitar pukul 22.00 WIB malam. Polisi menuduhnya mempekerjakan anak. Padahal tuduhan itu salah, justru kedua anak itu yang ngotot ikut bekerja menjual cobek dengan dirinya. Orang tua kedua dari kedua anak tersebut sudah menyetujuinya, ungkap Tajudin. Dirinya mengaku bahwa tidak pernah memaksa mereka berjualan. Namun kedua anak itu memohon untuk membeli cobek dari Tajudin lalu dijual sendiri.
Karena ada kasus hukum yang menimpanya itu, selama sembilan bulan ia harus berpisah dengan istri dan anaknya. Bahkan ia tidak bisa menyaksikan kelahiran anak bungsunya yang diberi nama Muhammad Yasin yang kini menginjak usia lima bulan. Anak bungsu Tajudin itu lahir pada 21 Agustus 2016 berjenis kelamin laki-laki. Selama di penjara pun, dirinya tak pernah dijenguk keluarga. “Istri lahiran juga baru diberi tahu saudara saat hadir di sidang pengadilan, “ ungkap Tajudin.
Namun saat ini, terhitung sejak tanggal 14 Januari 2017 Tajudin sudah bisa berkumpul kembali bersama keluarganya, walaupun proses hukum masih berlangsung dan masih ada tahapan yang harus dijalani dirinya dan Kuasa Hukumnya. Dirinya sudah bisa berkumpul kembali bersama keluarga dan membayar hutang waktu yang selama 9 bulan terakhir harus hilang.
Kebebasan yang dirasakan saat ini oleh Tajudin tentu saja tidak semerta-merta datang dengan sendirinya. Ada peranan organisasi bantuan hukum yang dirasa cukup besar. Dalam hal ini LBH Keadilan yang berdomisili di Pamulang yang menangani kasus Tajudin. LBH keadilan merupakan salah satu Organisasi Bantuan Hukum yang telah lolos verifikasi dan akreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.
Korespondensi lsc.bphn.go.id sempat berbicara via telepon dengan Abdul Hamim Jauzie, S.H yang bertindak sebagai kuasa hukum Tajudin. Dirinya menyatakan bahwa pertemuannya dengan Tajudin di awali dari kegiatan Penyuluhan Hukum yang menjadi salah satu komponen kegiatan Non Litigasi dari Program Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Saat itu materi yang disampaikan di rutan tersebut ialah materi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Kebetulan saat itu Tajudin merupakan salah satu peserta dalam kegiatan Penyuluhan Hukum Tersebut. Karena tertarik dengan penjelasan si narasumber terkait bantuan hukum gratis tadi, maka Tajudin langsung berkonsultasi terkait masalah yang sedang di alaminya saat itu. “Jadi saya bisa dibantu sama pengacara dan tanpa ada biaya gitu pak,”? ucap Abdul Hamim meniru ucapan Tajudin saat itu.
Abdul Hamim, sebagai pengacara menyatakan bahwa selama proses pendampingan kasus ini, dianggap Tajudin cukup kooperatif dan komunikatif dengan Tim Kuasa Hukumnya. Sehingga apapun arahan yang telah diberikan selama proses pendampingan dan konsultasi hukum dilaksanakan sebaik mungkin oleh Tajudin. Namun, Abdul Hamim juga bercerita kendala yang dialami ketika menangani kasus Tajudin.
“Memang dalam pelaksanaan pendampingan ada beberapa kendala seperti penerbitan SKTM dan surat keterangan domisili namun masalah tersebut tidak terlalu menghambat proses pendampingan karena masih bisa diselesaikan oleh pihak-pihak yang saling terkait dengan program bantuan hukum gratis ini,” ungkap Abdul Hamim.
Setelah berjalan sekian bulan akhirnya kasus ini mendapatkan titik terang dimana saat ini Tajudin telah berkumpul kembali dengan keluarga. Akan tetapi Abdul Hamim selaku pengacaranya tetap masih mendampingi Tajudin hingga kasusnya mendapatkan putusan inkraht dari pengadilan. “Tajudin, memang baru lepas dari masa tahanan akan tetapi kasusnya masih belum inkraht sehingga kami pun masih ada kewajiban memberikan pendampingan hukum bagi Tajudin,” ungkap Abdul Hamim. Hingga saat ini LBH Keadilan sebagai OBH yang menangani kasus ini pun telah dua kali melakukan pencairan melalui aplikasi sidbankum.bphn.go.id.
Pemberian bantuan hukum gratis itu sendiri sebenarnya sudah berjalan kurang lebih 6 tahun, terhitung sejak di undangkannya pada tahun 2011. Sejak di undangkannya Undang-undang Nomor 16 tahun 2011 sudah ada 405 Organisasi Bantuan Hukum yang tersebar di seluruh Indonesia yang akan memberikan bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin atau tidak mampu. Terkait dengan hal ini, Abdul Hamim menyatakan bahwa mekanisme yang berjalan saat ini sudah cukup baik namun memang belum semua pihak yang terkait paham akan fungsi dan tugasnya. “Hal ini yang memang masih menjadi PR besar teman-teman di BPHN”, ungkapnya. Dirinya pun memaklumi, mungkin kurangnya sosialisasi yang masif menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ada beberapa informasi yang tidak sampai ke para pihak yang terkait, ungkap Abdul Hamim. Salah satu yang perlu di evaluasi ialah terkait dengan informasi jadwal sidang yang terkadang kami sebagai tim kuasa hukum tidak mendapatkan informasi tersebut sehingga kami harus lebih pro-aktif dalam mencari informasi jadwal sidang.
Selain itu juga dengan adanya aplikasi sidbankum.bphn.go.id semua informasi menjadi lebih jelas. Dimana kami bisa mendapatkan informasi tentang bantuan hukum melalui satu pintu dan sangat memudahkan kami dari sisi administrasi, jelas Abdul Hamim. Akan tetapi kecanggihan teknologi yang saat ini sudah tentu saja masih ada sedikit kelemahan. “Mungkin perlu ada fitur yang menyediakan sarana komunikasi dua arah antara OBH, Kantor Wilayah dan BPHN sebagai admin pusat sehingga ketika ada kekurangan berkas kami bisa jelaskan beberapa hal dari sisi kami sebagai Pemberi Bantuan Hukum,” ungkap Abdul Hamim.
Dengan adanya implementasi Pemberian Bantuan Hukum Gratis ini tentu menjadi angin segar bagi mereka para pencari keadilan yang miskin atau tidak mampu. Di tahun 2016 kemarin berdasarkan sidbankum.bphn.go.id, serapan anggaran untuk program bantuan hukum mencapai 96%, meningkat drastis jika dibandingkan tahun sebelumnya yang serapannya sebesar 54,09 %. Kehadiran aplikasi sidbankum.bphn.go.id yang awalnya dirasa akan menghambat, justru malah mempermudah akses para OBH, terutama bagi OBH yang berada di luar ibukota provinsi sehingga mereka tidak harus pergi ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di masing-masing provinsi. Cukup mengupload berkas-berkas pertanggungjawaban di kantor OBH. Saat ini aplikasi sidbankum.bphn.go.id masih akan ada beberapa fitur penambahan, pengembangan dan juga integrasi dengan beberapa aplikasi yang terkait yang tentunya nanti akan semakin membuka akses bagi para pencari keadilan.
Hal ini sejalan dengan Agenda Reformasi Hukum Jilid II yang digagas oleh Presiden Jokowi dimana salah satu poin dari agenda tersebut ialah perluasan jangkauan bantuan hukum kepada masyarakat kecil ( baca juga : Bantuan Hukum Menjadi Agenda Reformasi Hukum Jilid II http://lsc.bphn.go.id/news/?nid=546 ) . Perlu di akui bahwa sampai saat ini masih banyak keluhan dari masyarakat kecil yang merasa termarjinalkan untuk mendapatkan rasa keadilan dan keamanan. Untuk itu pemerintah dalam hal ini harus memberikan akses seluas-luasnya agar masyarakat yang tidak mampu dapat memperoleh bantuan hukum ketika mereka mengalami masalah hukum. Hal ini tidak hanya menjadi PR besar Kementerian Hukum dan HAM saja melainkan PR bersama seluruh instansi yang terkait dengan penegakan hukum.
Kasus Cobek Tajudin ini merupakan sisi lain potret hukum di Indonesia yang terkenal dengan adagium bahwa hukum itu tajam kebawah dan tumpul ke atas. Kasus Cobek Tajudin menjadi bukti bahwa negara hadir di tengah masyarakat untuk memberikan keadilan seadil-adilnya bagi masyarakat yang membutuhkan keadilan. Kalau bukan kita saat ini yang mewujudkan keadilan lalu siapa? ***(RA)
Sumber: http://bphn.go.id/news/2017013002422923/Penjual-Cobek-Mendapatkan-Bantuan-Hukum-Secara-Cuma-Cuma
BPHN–Jakarta. Beberapa waktu lalu di linimasa jejaring sosial media dan beberapa media online dan cetak sempat ramai dengan pemberitaan tentang Tajudin. Nama Tajudin sontak ramai menjadi bahan pemberitaan karena dirinya baru saja keluar dari Lapas Jambe Tanggerang setelah terkurung selama sembilan bulan.
Kisah pilu Tajudin dimulai karena dirinya dituduh memperkerjakan anak di bawah umur. Sebelum Tajudin merasakan dinginnya tembok Lembaga Pemasyarakatan, dirinya berprofesi sebagai seorang penjual cobek. Pria asal Padalarang ini ditangkap petugas Polres Tangerang Selatan pada Rabu 20 April 2016 dengan tuduhan mempekerjakan dua anak di bawah umur, yaitu Cepi Nurjaman, 14, dan Dendi Darmawan, 15 yang ternyata masih ada hubungan keluarga.
Dari berbagai sumber di media, kronologis penangkapannya bermula pada saat ia hendak pulang ke rumah kontrakan usai berjualan cobek di Graha Bintaro, Kecamatan Pondok Aren Tangerang. Di luar dugaan, ia langsung ditangkap petugas kepolisian dengan tuduhan melakukan eksploitasi anak dibawah umur. Dirinya langsung disergap polisi sewaktu pulang kerja sekitar pukul 22.00 WIB malam. Polisi menuduhnya mempekerjakan anak. Padahal tuduhan itu salah, justru kedua anak itu yang ngotot ikut bekerja menjual cobek dengan dirinya. Orang tua kedua dari kedua anak tersebut sudah menyetujuinya, ungkap Tajudin. Dirinya mengaku bahwa tidak pernah memaksa mereka berjualan. Namun kedua anak itu memohon untuk membeli cobek dari Tajudin lalu dijual sendiri.
Karena ada kasus hukum yang menimpanya itu, selama sembilan bulan ia harus berpisah dengan istri dan anaknya. Bahkan ia tidak bisa menyaksikan kelahiran anak bungsunya yang diberi nama Muhammad Yasin yang kini menginjak usia lima bulan. Anak bungsu Tajudin itu lahir pada 21 Agustus 2016 berjenis kelamin laki-laki. Selama di penjara pun, dirinya tak pernah dijenguk keluarga. “Istri lahiran juga baru diberi tahu saudara saat hadir di sidang pengadilan, “ ungkap Tajudin.
Namun saat ini, terhitung sejak tanggal 14 Januari 2017 Tajudin sudah bisa berkumpul kembali bersama keluarganya, walaupun proses hukum masih berlangsung dan masih ada tahapan yang harus dijalani dirinya dan Kuasa Hukumnya. Dirinya sudah bisa berkumpul kembali bersama keluarga dan membayar hutang waktu yang selama 9 bulan terakhir harus hilang.
Kebebasan yang dirasakan saat ini oleh Tajudin tentu saja tidak semerta-merta datang dengan sendirinya. Ada peranan organisasi bantuan hukum yang dirasa cukup besar. Dalam hal ini LBH Keadilan yang berdomisili di Pamulang yang menangani kasus Tajudin. LBH keadilan merupakan salah satu Organisasi Bantuan Hukum yang telah lolos verifikasi dan akreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.
Korespondensi lsc.bphn.go.id sempat berbicara via telepon dengan Abdul Hamim Jauzie, S.H yang bertindak sebagai kuasa hukum Tajudin. Dirinya menyatakan bahwa pertemuannya dengan Tajudin di awali dari kegiatan Penyuluhan Hukum yang menjadi salah satu komponen kegiatan Non Litigasi dari Program Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Saat itu materi yang disampaikan di rutan tersebut ialah materi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Kebetulan saat itu Tajudin merupakan salah satu peserta dalam kegiatan Penyuluhan Hukum Tersebut. Karena tertarik dengan penjelasan si narasumber terkait bantuan hukum gratis tadi, maka Tajudin langsung berkonsultasi terkait masalah yang sedang di alaminya saat itu. “Jadi saya bisa dibantu sama pengacara dan tanpa ada biaya gitu pak,”? ucap Abdul Hamim meniru ucapan Tajudin saat itu.
Abdul Hamim, sebagai pengacara menyatakan bahwa selama proses pendampingan kasus ini, dianggap Tajudin cukup kooperatif dan komunikatif dengan Tim Kuasa Hukumnya. Sehingga apapun arahan yang telah diberikan selama proses pendampingan dan konsultasi hukum dilaksanakan sebaik mungkin oleh Tajudin. Namun, Abdul Hamim juga bercerita kendala yang dialami ketika menangani kasus Tajudin.
“Memang dalam pelaksanaan pendampingan ada beberapa kendala seperti penerbitan SKTM dan surat keterangan domisili namun masalah tersebut tidak terlalu menghambat proses pendampingan karena masih bisa diselesaikan oleh pihak-pihak yang saling terkait dengan program bantuan hukum gratis ini,” ungkap Abdul Hamim.
Setelah berjalan sekian bulan akhirnya kasus ini mendapatkan titik terang dimana saat ini Tajudin telah berkumpul kembali dengan keluarga. Akan tetapi Abdul Hamim selaku pengacaranya tetap masih mendampingi Tajudin hingga kasusnya mendapatkan putusan inkraht dari pengadilan. “Tajudin, memang baru lepas dari masa tahanan akan tetapi kasusnya masih belum inkraht sehingga kami pun masih ada kewajiban memberikan pendampingan hukum bagi Tajudin,” ungkap Abdul Hamim. Hingga saat ini LBH Keadilan sebagai OBH yang menangani kasus ini pun telah dua kali melakukan pencairan melalui aplikasi sidbankum.bphn.go.id.
Pemberian bantuan hukum gratis itu sendiri sebenarnya sudah berjalan kurang lebih 6 tahun, terhitung sejak di undangkannya pada tahun 2011. Sejak di undangkannya Undang-undang Nomor 16 tahun 2011 sudah ada 405 Organisasi Bantuan Hukum yang tersebar di seluruh Indonesia yang akan memberikan bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin atau tidak mampu. Terkait dengan hal ini, Abdul Hamim menyatakan bahwa mekanisme yang berjalan saat ini sudah cukup baik namun memang belum semua pihak yang terkait paham akan fungsi dan tugasnya. “Hal ini yang memang masih menjadi PR besar teman-teman di BPHN”, ungkapnya. Dirinya pun memaklumi, mungkin kurangnya sosialisasi yang masif menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ada beberapa informasi yang tidak sampai ke para pihak yang terkait, ungkap Abdul Hamim. Salah satu yang perlu di evaluasi ialah terkait dengan informasi jadwal sidang yang terkadang kami sebagai tim kuasa hukum tidak mendapatkan informasi tersebut sehingga kami harus lebih pro-aktif dalam mencari informasi jadwal sidang.
Selain itu juga dengan adanya aplikasi sidbankum.bphn.go.id semua informasi menjadi lebih jelas. Dimana kami bisa mendapatkan informasi tentang bantuan hukum melalui satu pintu dan sangat memudahkan kami dari sisi administrasi, jelas Abdul Hamim. Akan tetapi kecanggihan teknologi yang saat ini sudah tentu saja masih ada sedikit kelemahan. “Mungkin perlu ada fitur yang menyediakan sarana komunikasi dua arah antara OBH, Kantor Wilayah dan BPHN sebagai admin pusat sehingga ketika ada kekurangan berkas kami bisa jelaskan beberapa hal dari sisi kami sebagai Pemberi Bantuan Hukum,” ungkap Abdul Hamim.
Dengan adanya implementasi Pemberian Bantuan Hukum Gratis ini tentu menjadi angin segar bagi mereka para pencari keadilan yang miskin atau tidak mampu. Di tahun 2016 kemarin berdasarkan sidbankum.bphn.go.id, serapan anggaran untuk program bantuan hukum mencapai 96%, meningkat drastis jika dibandingkan tahun sebelumnya yang serapannya sebesar 54,09 %. Kehadiran aplikasi sidbankum.bphn.go.id yang awalnya dirasa akan menghambat, justru malah mempermudah akses para OBH, terutama bagi OBH yang berada di luar ibukota provinsi sehingga mereka tidak harus pergi ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di masing-masing provinsi. Cukup mengupload berkas-berkas pertanggungjawaban di kantor OBH. Saat ini aplikasi sidbankum.bphn.go.id masih akan ada beberapa fitur penambahan, pengembangan dan juga integrasi dengan beberapa aplikasi yang terkait yang tentunya nanti akan semakin membuka akses bagi para pencari keadilan.
Hal ini sejalan dengan Agenda Reformasi Hukum Jilid II yang digagas oleh Presiden Jokowi dimana salah satu poin dari agenda tersebut ialah perluasan jangkauan bantuan hukum kepada masyarakat kecil ( baca juga : Bantuan Hukum Menjadi Agenda Reformasi Hukum Jilid II http://lsc.bphn.go.id/news/?nid=546 ) . Perlu di akui bahwa sampai saat ini masih banyak keluhan dari masyarakat kecil yang merasa termarjinalkan untuk mendapatkan rasa keadilan dan keamanan. Untuk itu pemerintah dalam hal ini harus memberikan akses seluas-luasnya agar masyarakat yang tidak mampu dapat memperoleh bantuan hukum ketika mereka mengalami masalah hukum. Hal ini tidak hanya menjadi PR besar Kementerian Hukum dan HAM saja melainkan PR bersama seluruh instansi yang terkait dengan penegakan hukum.
Kasus Cobek Tajudin ini merupakan sisi lain potret hukum di Indonesia yang terkenal dengan adagium bahwa hukum itu tajam kebawah dan tumpul ke atas. Kasus Cobek Tajudin menjadi bukti bahwa negara hadir di tengah masyarakat untuk memberikan keadilan seadil-adilnya bagi masyarakat yang membutuhkan keadilan. Kalau bukan kita saat ini yang mewujudkan keadilan lalu siapa? ***(RA)
Sumber: http://bphn.go.id/news/2017013002422923/Penjual-Cobek-Mendapatkan-Bantuan-Hukum-Secara-Cuma-Cuma
0 Response to "Penjual Cobek, Mendapatkan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma"
Posting Komentar