Inilah Survei Terbaru tentang Paralegal Indonesia
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) masih terus menyusun panduan bagi paralegal di Indonesia. Panduan ini disusun untuk mempermudah pelaksanaan atau implmentasi UU No. 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum. Undang-Undang ini mengakui eksistensi paralegal
secara normatif, dan memperlihatkan pengakuan atas kontribusi paralegal
selama ini dalam pemberian bantuan hukum.
Namun hal-hal teknis mengenai paralegal belum ada. Karena itu, BPHN mendapat amanah untuk menyusun panduan itu bersama-sama dengan pa
Direktur JPI, Abdul Hamim Jauzie, menjelaskan hasil survei JPI sudah disampaikan ke BPHN pada 18 Agustus lalu. Direktur Penyuluhan Hukum BPHN, Audy Murfi MZ, menyambut baik hasil riset karena akan membantu BPHN dalam proses penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pemberian bantuan hukum. “BPHN mengapresiasi hasil survei tersebut,” papar Abdul Hamim.
Salah satu gagasan yang berkembang selama ini adalah kewajiban paralegal mengikuti pendidikan selama 162 jam atau 15 hari, dalam bentuk kursus intensif. Masalahnya, ternyata tak semudah yang dibayangkan. Faktanya, belum semua Organisasi Bantuan Hukum (OBH) atau Pemberi Bantuan Hukum –sebutan dalam UU No. 16 Tahun 2011—mengetahui proses penyusunan panduan paralegal tersebut. Mayoritas responden (67,80%) malah belum tahu ada penyusunan panduan paralegal.
Meskipun sebagian besar belum tahu, tetapi lebih banyak responden yang setuju juklak paralegal itu disusun oleh BPHN. Suaranya, 49,15% setuju dibuat, dan 40,68% tidak setuju. Sisanya 10,17% tidak menjawab. Ini berarti rencana penyusunan juklak masih harus disosialisasikan kepada para pemangku kepentingan (OBH).
Pelatihan intensif
Bagi sebagian OBH, paralegal sangat penting dan menjadi ujung tombak kegiatan organisasi. Menyita waktu paralegalnya untuk mengikuti kursus intensif bisa menimbulkan masalah. Apalagi kebutuhan pendidikan paralegal di setiap OBH tidak sama. Karena itu, hasil survei menunjukkan silang pendapat tentang siapa yang melaksanakan, waktu pelaksanaan, dan penyeragaman materi.
Gagasan 15 hari pelatihan misalnya. Angka y7ang setuju 47,46% hampir sama dengan jumlah yang tidak setuju (45,76%). Ada suara yang menganggap penting pelatihan intensif bagi paralegal, sebaliknya ada yang tak setuju pada lamanya waktu pelatihan. Beragamnya pandangan tentang pengaturan pendidikan paralegal menjadi tantangan bagi BPHN sebagai leading sector pelaksanaan UU Bantuan Hukum. “Temuan ini menjadi tantangan bagi BPHN bagaimana memodifikasi standaryang moderat bagi paralegal berlatih,” kata Abdul Hamim Jauzie.
Kepala BPHN, Enny Nurbaningsih, mengatakan BPHN dan para pengurus OBH masih perlu duduk bersama agar panduan yang disusun bisa disepakati dan dilaksanakan. Kurikulum dan kriterianya masih harus dibahas. “Kita perlu duduk bersama untuk membahas apakah perlu mekanismenya sama atau tidak,” ujarnya kepada hukumonline, Rabu (26/8) di sela-sela kesibukannya menjadi Pansel KPK.
Ia mengakui peran paralegal dalam proses bantuan hukum bagi warga miskin. Norma yang mengakui paralegal sudah ada, tinggal bagaimana mereka menjalankan kegiatan advokasi masyarakat. Tinggal kini bagaimana BPHN dan OBH memetakan masalah-masalah yang dihadapi untuk kemudian dibuatkan juklaknya. Tantangannya tidak mudah, apalagi dana bantuan hukum yang tersedia di APBN masih sedikit.
ralegal, salah satunya dengan Jaringan
Paralegal Indonesia (JPI). JPI telah melakukan survei terhadap 177
responden di seluruh Indonesia. Survei adalah survei persepsi tentang
standar paralegal di Indonesia.Namun hal-hal teknis mengenai paralegal belum ada. Karena itu, BPHN mendapat amanah untuk menyusun panduan itu bersama-sama dengan pa
Direktur JPI, Abdul Hamim Jauzie, menjelaskan hasil survei JPI sudah disampaikan ke BPHN pada 18 Agustus lalu. Direktur Penyuluhan Hukum BPHN, Audy Murfi MZ, menyambut baik hasil riset karena akan membantu BPHN dalam proses penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pemberian bantuan hukum. “BPHN mengapresiasi hasil survei tersebut,” papar Abdul Hamim.
Salah satu gagasan yang berkembang selama ini adalah kewajiban paralegal mengikuti pendidikan selama 162 jam atau 15 hari, dalam bentuk kursus intensif. Masalahnya, ternyata tak semudah yang dibayangkan. Faktanya, belum semua Organisasi Bantuan Hukum (OBH) atau Pemberi Bantuan Hukum –sebutan dalam UU No. 16 Tahun 2011—mengetahui proses penyusunan panduan paralegal tersebut. Mayoritas responden (67,80%) malah belum tahu ada penyusunan panduan paralegal.
Meskipun sebagian besar belum tahu, tetapi lebih banyak responden yang setuju juklak paralegal itu disusun oleh BPHN. Suaranya, 49,15% setuju dibuat, dan 40,68% tidak setuju. Sisanya 10,17% tidak menjawab. Ini berarti rencana penyusunan juklak masih harus disosialisasikan kepada para pemangku kepentingan (OBH).
Pelatihan intensif
Bagi sebagian OBH, paralegal sangat penting dan menjadi ujung tombak kegiatan organisasi. Menyita waktu paralegalnya untuk mengikuti kursus intensif bisa menimbulkan masalah. Apalagi kebutuhan pendidikan paralegal di setiap OBH tidak sama. Karena itu, hasil survei menunjukkan silang pendapat tentang siapa yang melaksanakan, waktu pelaksanaan, dan penyeragaman materi.
Gagasan 15 hari pelatihan misalnya. Angka y7ang setuju 47,46% hampir sama dengan jumlah yang tidak setuju (45,76%). Ada suara yang menganggap penting pelatihan intensif bagi paralegal, sebaliknya ada yang tak setuju pada lamanya waktu pelatihan. Beragamnya pandangan tentang pengaturan pendidikan paralegal menjadi tantangan bagi BPHN sebagai leading sector pelaksanaan UU Bantuan Hukum. “Temuan ini menjadi tantangan bagi BPHN bagaimana memodifikasi standaryang moderat bagi paralegal berlatih,” kata Abdul Hamim Jauzie.
Kepala BPHN, Enny Nurbaningsih, mengatakan BPHN dan para pengurus OBH masih perlu duduk bersama agar panduan yang disusun bisa disepakati dan dilaksanakan. Kurikulum dan kriterianya masih harus dibahas. “Kita perlu duduk bersama untuk membahas apakah perlu mekanismenya sama atau tidak,” ujarnya kepada hukumonline, Rabu (26/8) di sela-sela kesibukannya menjadi Pansel KPK.
Ia mengakui peran paralegal dalam proses bantuan hukum bagi warga miskin. Norma yang mengakui paralegal sudah ada, tinggal bagaimana mereka menjalankan kegiatan advokasi masyarakat. Tinggal kini bagaimana BPHN dan OBH memetakan masalah-masalah yang dihadapi untuk kemudian dibuatkan juklaknya. Tantangannya tidak mudah, apalagi dana bantuan hukum yang tersedia di APBN masih sedikit.
Sumber: www.hukumonline.com/
0 Response to "Inilah Survei Terbaru tentang Paralegal Indonesia"
Posting Komentar