Memperluas ‘Praperadilan’, Mempersempit ‘Penegak Hukum’
Hakim punya kesempatan untuk membuat penemuan hukum. Metodenya melalui penafsiran dan konstruksi hukum. Tetapi memperluas dan mempersempit hukum tak bisa dilakukan sembarangan.
Efek putusan Sarpin mulai terlihat.
Di Jakarta, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali mengajukan praperadilan atas
penetapan dirinya sebagai tersangka. Di Banyumas, seorang pedagang sapi yang
dijadikan tersangka oleh polisi menempuh upaya hukum serupa.
Hakim PN Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan (BG) atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Dalam putusannya (16/2), hakim Sarpin menegaskan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Penetapan tersangka tak disebut sama sekali dalam Pasal 77, 1 angka 10, dan 95 KUHAP, sehingga putusan Sarpin memantik perdebatan. Sang hakim dipuji, sekaligus dihujat, termasuk oleh beberapa alumnus almamaternya di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang.
Maqdir Ismail, pengacara BG, menuliskan sebuah artikel tentang makna putusan hakim Sarpin, dua hari setelah putusan itu dibacakan. Maqdir menyebut Sarpin telah ‘memperluas’ objek praperadilan. Putusan itu, kata dia, harus dibaca sebagai kemenangan hukum dan keadilan yang selama ini disembunyikan di balik tembok sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
Meskipun tak setuju sepenuhnya, LBH Keadilan menyebut putusan hakim Sarpin sebagai ‘terobosan hukum’. Sebaliknya, advokat Nursjahbani Katjasungkana menyebut putusan itu preseden yang sangat buruk dalam penegakan hukum. Suara yang mengecam putusan tak kalah nyaring di media sosial. Bahkan mantan orang nomor satu di Mahkamah Agung, Harifin Tumpa dan Bagir Manan, ikut bersuara keras.
Memang, ada beragam sudut pandang orang melihat putusan praperadilan yang dijatuhkan hakim Sarpin Rizaldi. Satu hal yang pasti, semua pihak seharusnya menghormati putusan hakim. KPK yang tak setuju putusan sudah menempuh upaya hukum lanjutan. Pengajar ilmu hukum Universitas Pasundan Bandung, Anton F. Susanto melihat perbedaan pandangan mengenai putusan hakim Sarpin sebagai sesuatu yang dimungkinkan. “Inilah bentuk dinamisasi hukum,” ujarnya kepada hukumonline.
Karena itu pula, ruang diskusi tetap terbuka menyangkut pertimbangan hakim. Yang mendapat sorotan adalah langkah Sarpin ‘memperluas’ cakupan praperadilan di satu sisi, tetapi ‘mempersempit’ makna ‘penyelenggara negara’ dan ‘penegak hukum’ di sisi lain. Sejarah peradilan Indonesia tak lepas dari kisah dan kasus penyempitan dan perluasan makna.
Sekadar contoh, penyusunan rumusan Pasal 1342 KUH Perdata tak lepas dari peluang interpretasi itu. Pasal ini menyebut: ‘jika kata-kata mempunyai arti yang jelas maka tidak boleh ditafsirkan’. Putusan MA No. 11K/Kr/1955 telah memperluas makna ‘didiami’ dalam konteks pemakaian bangunan meliputi pula keadaan ‘dipakai’. Yurisprudensi lain yang terkenal adalah penyempitan makna perbuatan melawan hukum (PMH), atau perluasan makna pencurian barang yang menyasar pencurian aliran listrik.
Kemudian dikenallah penafsiran gramatikal, sistematik, historis, teleologis, sejarah hukum, antisipatif, dan lain-lain. Dalam konteks inilah kewajiban hakim menggali hukum yang hidup dalam masyarakat bisa dibaca.
Penegak hukum
Penyempitan makna dapat dilihat dari pertimbangan hakim Sarpin atas penegak hukum. KPK punya kewenangan menangani dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum. Pertanyaannya, siapakah yang disebut penegak hukum? Secara luas, orang yang berprofesi sebagai polisi, jaksa, hakim, dan advokat disebut sebagai aparat penegak hukum. Dalam arti luas ini, maka semua yang berprofesi sebagai polisi bisa disebut sebagai penegak hukum.
Bagi hakim Sarpin, harus dibedakan dulu, polisi itu bertugas di bagian administrasi dan personalia atau bidang penegakan hukum. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, ungkapnya dalam pertimbangan, tak memberi penjelasan penegak hukum dan siapa saja yang termasuk di dalamnya. Dengan merujuk pada surat keputusan Kapolri, hakim menyebut penegak hukum adalah polisi yang bertugas di bagian penyelidikan dan penyidikan.
Lantaran BG saat kasus yang dituduhkan KPK bertugas di bagian personalia, maka ia tak termasuk penegak hukum. Di sini, hakim seolah menyempitkan makna penegak hukum: hanya penyelidik dan penyidik. Lalu, apa makna KUHAP yang menyebut penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia?
Hakim Sarpin juga menyebut BG tak bisa dikategorikan sebagai ‘penyelenggara negara’ yang disebut dalam UU KPK karena BG saat itu bukan pejabat eselon I di Mabes Polri. Dibaca dari konteks penyelenggara negara yang wajib menyerahkan laporan harta kekayaan (LHKPN) sebenarnya kewajiban itu bukan hanya dibebankan kepada pejabat eselon I, tetapi juga eselon II. Perluasan kewajiban itu diatur dalam Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Interpretasi atau konstruksi?
Hakim bisa menemukan hukum dan menuangkannya dalam putusan, melalui interpretasi atau konstruksi. Pengajar Universitas Bina Nusantara, Sidharta, lebih melihat apa yang dilakukan hakim Sarpin sebagai konstruksi ketimbang interpretasi.
Interpretasi atau penafsiran sebagai metode penemuan hukum memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaedah dalam undang-undang itu dapat diterapkan pada peristiwa tertentu. Dalam doktrin, misalnya pandangan Prof. Sudikno Mertokusumo, penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju pada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.
Sidharta lebih melihat hakim Sarpin melakukan konstruksi. Dalam kontruksi hukum, sesuatu yang tidak ada menjadi ada; sebaliknya dalam interpretasi penafsirannya masuk wilayah yang sama. Misalnya penahanan. Penahanan adalah objek praperadilan. Saat membuat penafsiran, hakim tetapi menjelaskan penahanan. Dalam konteks hakim Sarpin, yang terjadi adalah penetapan tersangka (yang tak ada diatur dalam teks KUHAP) dibuat menjadi ada. “Itu sudah konstruksi sebetulnya. Hakim melakukan konstruksi hukum,” jelas Sidharta kepada hukumonline.
Konstruksi dapat berupa analogi, penghalusan atau penyempitan hukum, dan argumentum a contrario. Penyempitan hukum (rechtsvervijning) adalah kebalikan dari analogi. Melalui analogi, hakim memperluas penerapan hukum pada peristiwa yang tidak eksplisit disebut dalam undang-undang. Dalam penyempitan hukum, dibuat penyimpangan baru dari undang-undang atau hukum tidak diterapkan pada peristiwa konkrit tertentu.
Tak sembarangan
Lingkungan akademis selayaknya melakukan kajian lebih lanjut untuk melihat pertimbangan hukum yang dibuat hakim Sarpin: interpretasi atau kontruksi.
Apapun sebutan yang pas, pegiat hukum progresif M. Irsyad Thamrin mengingatkan bahwa hakim tetap terikat pada hukum, dan dalam melakukan penemuan hukum ada proses yang harus dijalankan dan banyak hal yang harus dipertimbangan. Itu bisa dilihat dari argumentasi dan teori yang dipakai sang hakim. “Dalam penemuan hukumnya, hakim dibatasi banyak aturan,” tegas Thamrin.
Anton F. Susanto juga menjelaskan ada tahap-tahap yang harus dilalui hakim dalam menafsirkan atau mengkontruksi hukum. Langkah pertama adalah mencocokkan antara fakta dan aturan. Hakim biasanya mengandalkan alat bukti yang sah menurut hukum. Tahap ini lazim disebut mengkonstatasi; yakni mencocokan fakta peristiwa dengan buktinya.
Setelah peristiwanya jelas, maka hakim selanjutnya mengkualifikasinya. Dalam konteks ini, misalnya mengkualifikasi apakah penetapan tersangka masuk objek peradilan yang diatur Pasal 77 KUHAP atau tidak. Lalu, hakim menetapkan hukum terhadap peristiwa tertentu. Jika ketentuannya kurang jelas, maka hakim berkewajiban untuk memperjelas. “Artinya, penafsir tidak melakukan penyimpangan terhadap ketentuan umum, tetapi memperjelas makna yang disebut dalam aturan itu,” jelas Anton.
Namun Anton dan Irsyad Thamrin mengingatkan seberapa bebas pun hakim membuat penemuan hukum, langkah hakim harus mempertimbangkan banyak hal. Antara lain nilai dan keadilan dalam masyarakat.
Hakim PN Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan (BG) atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Dalam putusannya (16/2), hakim Sarpin menegaskan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Penetapan tersangka tak disebut sama sekali dalam Pasal 77, 1 angka 10, dan 95 KUHAP, sehingga putusan Sarpin memantik perdebatan. Sang hakim dipuji, sekaligus dihujat, termasuk oleh beberapa alumnus almamaternya di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang.
Maqdir Ismail, pengacara BG, menuliskan sebuah artikel tentang makna putusan hakim Sarpin, dua hari setelah putusan itu dibacakan. Maqdir menyebut Sarpin telah ‘memperluas’ objek praperadilan. Putusan itu, kata dia, harus dibaca sebagai kemenangan hukum dan keadilan yang selama ini disembunyikan di balik tembok sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
Meskipun tak setuju sepenuhnya, LBH Keadilan menyebut putusan hakim Sarpin sebagai ‘terobosan hukum’. Sebaliknya, advokat Nursjahbani Katjasungkana menyebut putusan itu preseden yang sangat buruk dalam penegakan hukum. Suara yang mengecam putusan tak kalah nyaring di media sosial. Bahkan mantan orang nomor satu di Mahkamah Agung, Harifin Tumpa dan Bagir Manan, ikut bersuara keras.
Memang, ada beragam sudut pandang orang melihat putusan praperadilan yang dijatuhkan hakim Sarpin Rizaldi. Satu hal yang pasti, semua pihak seharusnya menghormati putusan hakim. KPK yang tak setuju putusan sudah menempuh upaya hukum lanjutan. Pengajar ilmu hukum Universitas Pasundan Bandung, Anton F. Susanto melihat perbedaan pandangan mengenai putusan hakim Sarpin sebagai sesuatu yang dimungkinkan. “Inilah bentuk dinamisasi hukum,” ujarnya kepada hukumonline.
Karena itu pula, ruang diskusi tetap terbuka menyangkut pertimbangan hakim. Yang mendapat sorotan adalah langkah Sarpin ‘memperluas’ cakupan praperadilan di satu sisi, tetapi ‘mempersempit’ makna ‘penyelenggara negara’ dan ‘penegak hukum’ di sisi lain. Sejarah peradilan Indonesia tak lepas dari kisah dan kasus penyempitan dan perluasan makna.
Sekadar contoh, penyusunan rumusan Pasal 1342 KUH Perdata tak lepas dari peluang interpretasi itu. Pasal ini menyebut: ‘jika kata-kata mempunyai arti yang jelas maka tidak boleh ditafsirkan’. Putusan MA No. 11K/Kr/1955 telah memperluas makna ‘didiami’ dalam konteks pemakaian bangunan meliputi pula keadaan ‘dipakai’. Yurisprudensi lain yang terkenal adalah penyempitan makna perbuatan melawan hukum (PMH), atau perluasan makna pencurian barang yang menyasar pencurian aliran listrik.
Kemudian dikenallah penafsiran gramatikal, sistematik, historis, teleologis, sejarah hukum, antisipatif, dan lain-lain. Dalam konteks inilah kewajiban hakim menggali hukum yang hidup dalam masyarakat bisa dibaca.
Penegak hukum
Penyempitan makna dapat dilihat dari pertimbangan hakim Sarpin atas penegak hukum. KPK punya kewenangan menangani dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum. Pertanyaannya, siapakah yang disebut penegak hukum? Secara luas, orang yang berprofesi sebagai polisi, jaksa, hakim, dan advokat disebut sebagai aparat penegak hukum. Dalam arti luas ini, maka semua yang berprofesi sebagai polisi bisa disebut sebagai penegak hukum.
Bagi hakim Sarpin, harus dibedakan dulu, polisi itu bertugas di bagian administrasi dan personalia atau bidang penegakan hukum. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, ungkapnya dalam pertimbangan, tak memberi penjelasan penegak hukum dan siapa saja yang termasuk di dalamnya. Dengan merujuk pada surat keputusan Kapolri, hakim menyebut penegak hukum adalah polisi yang bertugas di bagian penyelidikan dan penyidikan.
Lantaran BG saat kasus yang dituduhkan KPK bertugas di bagian personalia, maka ia tak termasuk penegak hukum. Di sini, hakim seolah menyempitkan makna penegak hukum: hanya penyelidik dan penyidik. Lalu, apa makna KUHAP yang menyebut penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia?
Hakim Sarpin juga menyebut BG tak bisa dikategorikan sebagai ‘penyelenggara negara’ yang disebut dalam UU KPK karena BG saat itu bukan pejabat eselon I di Mabes Polri. Dibaca dari konteks penyelenggara negara yang wajib menyerahkan laporan harta kekayaan (LHKPN) sebenarnya kewajiban itu bukan hanya dibebankan kepada pejabat eselon I, tetapi juga eselon II. Perluasan kewajiban itu diatur dalam Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Interpretasi atau konstruksi?
Hakim bisa menemukan hukum dan menuangkannya dalam putusan, melalui interpretasi atau konstruksi. Pengajar Universitas Bina Nusantara, Sidharta, lebih melihat apa yang dilakukan hakim Sarpin sebagai konstruksi ketimbang interpretasi.
Interpretasi atau penafsiran sebagai metode penemuan hukum memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaedah dalam undang-undang itu dapat diterapkan pada peristiwa tertentu. Dalam doktrin, misalnya pandangan Prof. Sudikno Mertokusumo, penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju pada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.
Sidharta lebih melihat hakim Sarpin melakukan konstruksi. Dalam kontruksi hukum, sesuatu yang tidak ada menjadi ada; sebaliknya dalam interpretasi penafsirannya masuk wilayah yang sama. Misalnya penahanan. Penahanan adalah objek praperadilan. Saat membuat penafsiran, hakim tetapi menjelaskan penahanan. Dalam konteks hakim Sarpin, yang terjadi adalah penetapan tersangka (yang tak ada diatur dalam teks KUHAP) dibuat menjadi ada. “Itu sudah konstruksi sebetulnya. Hakim melakukan konstruksi hukum,” jelas Sidharta kepada hukumonline.
Konstruksi dapat berupa analogi, penghalusan atau penyempitan hukum, dan argumentum a contrario. Penyempitan hukum (rechtsvervijning) adalah kebalikan dari analogi. Melalui analogi, hakim memperluas penerapan hukum pada peristiwa yang tidak eksplisit disebut dalam undang-undang. Dalam penyempitan hukum, dibuat penyimpangan baru dari undang-undang atau hukum tidak diterapkan pada peristiwa konkrit tertentu.
Tak sembarangan
Lingkungan akademis selayaknya melakukan kajian lebih lanjut untuk melihat pertimbangan hukum yang dibuat hakim Sarpin: interpretasi atau kontruksi.
Apapun sebutan yang pas, pegiat hukum progresif M. Irsyad Thamrin mengingatkan bahwa hakim tetap terikat pada hukum, dan dalam melakukan penemuan hukum ada proses yang harus dijalankan dan banyak hal yang harus dipertimbangan. Itu bisa dilihat dari argumentasi dan teori yang dipakai sang hakim. “Dalam penemuan hukumnya, hakim dibatasi banyak aturan,” tegas Thamrin.
Anton F. Susanto juga menjelaskan ada tahap-tahap yang harus dilalui hakim dalam menafsirkan atau mengkontruksi hukum. Langkah pertama adalah mencocokkan antara fakta dan aturan. Hakim biasanya mengandalkan alat bukti yang sah menurut hukum. Tahap ini lazim disebut mengkonstatasi; yakni mencocokan fakta peristiwa dengan buktinya.
Setelah peristiwanya jelas, maka hakim selanjutnya mengkualifikasinya. Dalam konteks ini, misalnya mengkualifikasi apakah penetapan tersangka masuk objek peradilan yang diatur Pasal 77 KUHAP atau tidak. Lalu, hakim menetapkan hukum terhadap peristiwa tertentu. Jika ketentuannya kurang jelas, maka hakim berkewajiban untuk memperjelas. “Artinya, penafsir tidak melakukan penyimpangan terhadap ketentuan umum, tetapi memperjelas makna yang disebut dalam aturan itu,” jelas Anton.
Namun Anton dan Irsyad Thamrin mengingatkan seberapa bebas pun hakim membuat penemuan hukum, langkah hakim harus mempertimbangkan banyak hal. Antara lain nilai dan keadilan dalam masyarakat.
0 Response to "Memperluas ‘Praperadilan’, Mempersempit ‘Penegak Hukum’"
Posting Komentar