Pluralisme Hukum dan Pengadilan untuk Keadilan Perempuan
Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang menerapkan
pluralisme hukum. Dalam
beberapa hal penerapan pluralisme hukum memberikan akses dan pilihan-pilihan yang menguntungkan bagi
perempuan (Sulistyowati Irianto: 2003).
Namun, belakangan ini banyak bukti bahwa
pluralisme
hukum itu juga menjadi hambatan bagi akses perempuan terhadap keadilan.
Dalam hal warisan misalnya, menurut UU No. 7/ 1989
tentang Pengadilan Agama, seorang muslim diberikan
pilihan untuk menyelesaikan masalah warisannya menurut hukum
Islam, perdata barat, atau menurut hukum adat. Pilihan ini idealnya
memberikan keuntungan bagi perempuan mengingat bahwa
dalam hukum Islam anak-anak perempuan mendapat setengah bagian dari anak
laki-laki,
sementara dalam hukum perdata barat dan hukum adat di daerah tertentu yang
menganut sistim parental, anak perempuan dan laki-laki mendapat bagian yang
sama. Setelah dilakukan perubahan atas UU No. 7/ 1989,
yaitu dengan UU No. 3/2006 dan UU No. 50/2009, pilihan
tersebut
dihapus dan bagi muslim hanya berlaku ketentuan hukum
Islam (faraidh).
Pluralisme hukum tersebut semakin
kompleks dalam hal perkawinan. Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974
tentang Perkawinan menyebutkan “perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu”. Pada kenyataanya di Indonesia terdapat agama dan kepercayaan yang
“tidak diakui” pemerintah. Sunda Wiwitan misalnya, sebagai kepercayaan tidak
diakui pemerintah, hingga saat ini masih terus mengalami diskriminasi:
perkawinannya dianggap tidak sah sehingga tidak bisa dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil. Akibat hukum dari itu sangat
luas, tidak hanya bagi status
perkawinannya tetapi juga status hukum anak-anak.
Pluralisme Hukum Penyebab Impunitas KDRT
Pada kasus-kasus Kekerasan
dalam Rumah Tangga (KDRT),
banyak bukti menunjukkan bahwa kompleksitas sistim hukum menyebabkan
meningkatnya impunitas. Proses persidangan
perceraian bagi muslim dilakukan di Pengadilan Agama, dan di Pengadilan Negeri
(perdata) bagi non-muslim. Sementara kasus KDRT yang dialaminya harus
diselasikan di Pengadilan Negeri (pidana). Tidak terintegrasinya penyelesaian
perceraian dan KDRT, membuat banyak korban KDRT lebih memilih untuk menyelesaikan
pengalaman kekerasannya dengan mengajukan gugatan perceraian dan tidak
melaporkan KDRT yang dialaminya (Sulistyowati Irianto: 2008).
Selain hal itu,
kendala lainnya adalah gagalnya penegakan hukum: korupsi, inkapabel, gender
insensitive dan ineffisien. Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang telah
dimandatkan Pasal 11, 12 UU
PKDRT untuk melakukan upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, bahkan tidak memiliki rencana kerja nasional
untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan rumah tangga. Padahal menurut data Komnas Perempuan
angka kekerasan terhadap perempuan terus mengalami peningkatan.
Pluralisme hukum ini semakin kompleks karena
berlakunya dua sistim pengadilan (Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum) dan
adanya dikotomi pengadilan perdata dan pidana. Dualisme dan dikotomi sistim
peradilan ini antara lain yang
menyebabkan banyak perempuan terutama korban kekerasan yang
tidak
memperoleh keadilan. Meski pada 2004, telah
disahkan UU PKDRT dan oleh banyak pihak dianggap sangat
progressif, namun karena berbagai kompleksitas ini, banyak korban kekerasan dalam
rumah tangga tidak
memperoleh akses yang penuh dalam memperoleh keadilan.
Hasil studi pustaka dan monitoring lapangan
yang dilakukan oleh Kartini Asia Network (2009) dengan menggunakan framework Akses terhadap Keadilan yang
dikembangkan UNDP (2006) dan Bappenas (2009), menunjukkan bahwa prinsip-prinsip
dalam UU KDRT itu bertentangan dengan prinsip di banyak pasal yang
digunakan oleh UU Perkawinan. Akibatnya
banyak sekali konflik antar hukum dan norma yang
diterapkan untuk mengatur keluarga dan rumah tangga disamping tentunya adanya
ketegangan antara norma yang mengatur dengan realitas kehidupan perempuan. Sebagai contoh, ketentuan tentang pembakuan peran dalam Pasal
31, 34
UU No. 1/1974 tentang Perkawinan selain berorientasi pada
nilai kelas menengah (Jawa) juga bertentangan dengan relaitas mayoritas kaum
perempuan Indonesia yang sepanjang sejarahnya selalu bekerja. Demikian pula
ketentuan tentang poligami yang membolehkan suami mempunyai istri hingga
4 orang dengan syarat-syarat yang
juga sangat bias laki-laki (Pasal 3,4 dan 5 UU No. 1/1974).
Dalam laporannya, Direktorat Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung melansir bahwa poligami dan alasan berdimensi KDRT adalah
penyebab terbanyak gugatan perceraian, yang dalam era reformasi ini angkanya
naik sampai 10 kali lipat (Badilag: 2009) . Sebagai akaibatnya
pelaksanaan UU PKDRT tidak sesuai dengan
tujuan UU itu sendiri dan tidak juga tidak yang
diharapkan masyarakat.
Hambatan Lain
Kuatnya ajaran agama
dan norma sosial
yang patriarchal menjadi hambatan tersendiri bagi terpenuhinya akses perempuan
terhadap keadilan. Di banyak tempat dan suku bangsa di tanah air, budaya dan
ajaran agama tersebut menjadi legitimasi terjadi diskriminasi dan kekerasan
dan sering tanpa ada sanksi apapun. Budaya Belis
di NTT, Merari
di NTB dan Bali ataupun adat sebuah suku di Merauke yang
memberikan hak keluarga untuk melakukan kekerasan terhadap istri yang dianggap
bertangungjawab atas meninggalnya suami (oleh sebab apapun) adalah contoh budaya
yang
menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Banyaknya Perda yang
bersumber pada ajaran agama dan budaya serta menguatnya kelompok-kelompok
fundamentalisme agama baik secara kultural maupun politik, menambah
kompleksitas penegakan hak asasi perempuan terutama
karena menganggap bahwa pembakuan peran perempuan (gender stereotyping) adalah sesuatu yang kodrati dan tidak
dapat diubah.
Budaya patriarkhis tersebut
sangat mempengaruhi penegakan hukum sehingga UU PKDRT yang menggunakan prinsip
perlindungan korban dan keadilan gender ini dalam pelaksanaannya sering malah
menjadikan korban sebagai terdakwa. Prinsip perlindungan korban ditegakkan
dengan menggunakan perspektif laki-laki dan penegak hukum bertindak sebagai
penjaga maskulinitas. Untuk Dualisme, dikotomi dan pluralism hukum serta
pertentangan aturan satu dengan yang lainnya khususnya antara UU PKDRT dengan
UU Perkawinan merupakan persoalan-persoalan hukum yang harus
diatasi untuk membuka akses terhadap keadilan yang lebih terintegrasi dan lebih
berkualitas dalam bidang hukum keluarga.
Sebagai salah
satu solusi persoalan di atas adalah pembentukan Pengadilan Keluarga. Sebuah
pengadilan yang secara terintegrasi akan mengadili perkara perceraian dan KDRT
serta tindak pidana dalam keluarga lainnya. Dengan itu akses perempuan terhadap
keadilan akan segera terwujud. Semoga!.
Abdul Hamim Jauzie - Ketua Pengurus LBH Keadilan
0 Response to "Pluralisme Hukum dan Pengadilan untuk Keadilan Perempuan"
Posting Komentar