Meluruskan kembali Hari Ibu
Hari
ini, 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu ke-85. Jika dilihat dari
sejarahnya, maka penyebutan “Hari Ibu” lebih tepat disebut sebagai “Hari
Perempuan”.
Masyarakat
banyak yang kurang paham mengenai sejarah hari ibu. Pada Kongres Perempuan
Pertama 22 Desember 1928 yang diperjuangkan adalah perbaikan kedudukan perempuan secara umum. Bukan kedudukan
perempuan secara individu.
Dengan
memilih istilah “Hari Ibu”, posisi
perempuan sebagai “individu seorang ibu” diangkat sebagai yang paling penting, bukan
peran perempuan sebagai pejuang kepentingan kaumnya dalam arti yang lebih luas
seperti memperjuangkan
akses anak perempuan pada pendidikan, hak untuk menikah tanpa paksaan, dan bebas dari kekerasan dan poligami.
Penggunaan
istilah “Hari Ibu” juga menitikberatkan perempuan sebagai individu dalam
perannya sebagai seorang Ibu.
Sayang,
publik sudah terlanjur mengenal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Sebagai ajakan,
mari jaga makna Hari Ibu agar tidak mengalami distorsi.
Dalam
konteks kekinian, perjuangan perempuan difokuskan pada pengurangan angka kematian
ibu, penghapusan kekerasan terhadap perempuan seperti kekerasan dalam rumah
tangga, kekerasan seksual dan kekerasan negara melalui kebijakan-kebijakan yang
mendiskriminasikan perempuan. Catatan Komnas Perempuan, pada 2012 terdapat
lebih dari 4000 kekerasan seksual dan 342 kebijakan telah mendiskriminasikan
perempuan. Daerah paling banyak mengeluarkan kebijakan diskriminatif adalah Jawa
Barat, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatra
Selatan dan Jawa Timur.
Selamat
Hari Ibu!
Kontak: Halimah Humayrah Tuanaya - Direktur Advokasi (08568333961)
0 Response to "Meluruskan kembali Hari Ibu"
Posting Komentar